Jakarta (ANTARA) - Indonesia saat ini tengah mengalami fenomena cuaca tidak biasa yang dikenal sebagai kemarau basah. Kemarau basah merupakan fenomena yang ditandai dengan tingginya intensitas curah hujan di tengah musim kemarau yang umumnya kering dan panas. Keadaan ini dipicu oleh kombinasi faktor lokal dan global yang mempengaruhi dinamika atmosfer di wilayah Indonesia.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa kemarau basah terjadi akibat berbagai faktor, seperti pergerakan angin di atmosfer, fenomena cuaca global seperti Madden Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin dan Rossby, serta dampak perubahan iklim. Salah satu faktor utama adalah peningkatan suhu permukaan laut, yang menyebabkan penguapan air lebih tinggi sehingga memperbesar potensi pembentukan awan hujan.
Kondisi suhu permukaan laut yang lebih hangat dari biasanya, khususnya di perairan sekitar Indonesia, berkontribusi terhadap peningkatan kelembaban udara dan pertumbuhan awan konvektif. Hal ini kemudian memicu hujan, meski secara klimatologis Indonesia sedang berada dalam periode musim kemarau.
Selain itu, dinamika global seperti fenomena El Nino dan La Nina juga memiliki peran penting. Dalam kondisi El Nino, suhu permukaan laut di wilayah Pasifik bagian tengah dan timur menghangat, menyebabkan pergeseran pusat konveksi awan ke arah Pasifik, sehingga Indonesia mengalami kekeringan. Sebaliknya, dalam kondisi La Nina, pusat konveksi bergeser ke wilayah Indonesia, menyebabkan hujan lebih banyak, termasuk pada musim kemarau.
Baca juga: Kemarau basah landa Indonesia: Fakta, penyebab, dan wilayah terdampak
BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada menghadapi situasi ini. Meski secara umum suhu udara tetap tinggi karena musim kemarau, hujan yang masih terjadi dapat menimbulkan risiko tambahan seperti petir, banjir, dan tanah longsor. Masyarakat diminta menggunakan pelindung dari paparan matahari, menjaga kecukupan cairan tubuh, serta menghindari tempat terbuka saat terjadi badai petir. BMKG juga menyarankan agar masyarakat senantiasa memantau prakiraan cuaca melalui kanal resmi sebelum melakukan aktivitas, khususnya jika akan bepergian jauh.
Dalam sektor pertanian, kemarau basah sejatinya bisa menjadi keuntungan karena curah hujan yang cukup memungkinkan petani menanam lebih sering. Namun kenyataannya, fenomena ini justru dapat menyebabkan kegagalan panen akibat banjir dan serangan hama. Sebagai contoh, pada musim tanam ketiga yang biasanya berlangsung dari Juni hingga September, hujan yang tidak sesuai pola justru merusak tanaman padi dan menyebabkan kerugian di kalangan petani.
Fenomena ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) pada Juli 2013 menunjukkan curah hujan yang tinggi di banyak wilayah Indonesia, meski saat itu merupakan puncak musim kemarau. Hujan sepanjang tahun yang berlebih seharusnya menguntungkan, terutama bagi pertanian sawah tadah hujan maupun yang menggunakan irigasi. Namun realitas di lapangan menunjukkan dampak sebaliknya.
Di sisi lain, kekeringan tetap menjadi ancaman di banyak wilayah dunia. Menurut PBB, setiap tahun dunia kehilangan lahan subur seluas Ukraina akibat kekeringan, penggundulan hutan, dan perubahan iklim. Kekeringan juga telah memicu migrasi massal dan krisis kemanusiaan di berbagai kawasan, khususnya di Afrika dan wilayah Sahel. Dampak kekeringan meliputi penurunan hasil pertanian, krisis air bersih, hingga potensi konflik sosial.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk memahami dinamika cuaca dan iklim secara menyeluruh. Fenomena kemarau basah menjadi bukti nyata bahwa perubahan iklim semakin memengaruhi pola cuaca yang tidak menentu. Antisipasi dan mitigasi menjadi kunci dalam menjaga ketahanan pangan dan keselamatan masyarakat di tengah kondisi cuaca yang kian ekstrem.
Baca juga: BRIN: Fenomena La Nina picu musim kemarau kini jadi lebih pendek
Baca juga: Cuaca mulai panas, sampah saluran-sungai Kota Mataram mulai berkurang
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025