TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Mulawarman berharap Kementerian Kehutanan secepatnya menindak perusahaan tambang yang menyerobot kawasan hutan pendidikan miliknya di Samarinda, Kalimantan Timur. Hutan seluas 299,03 hektare itu sejatinya untuk keperluan Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Fakultas Kehutanan, berdasarkan status Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020 lalu.
Tim Advokasi Penyelesaian Lahan KHDTK Universitas Mulawarman Haris Retno mengatakan bahwa, pada 12 Agustus 2024, Dekan Fakultas Kehutanan Irawan Wijaya telah bersurat kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian LHK, meminta kawasan hutan itu dan statusnya dilindungi. Ketika itu, kata Retno, aktivitas penambangan sudah mendekat. “Namun respons terhadap permohonan bantuan perlindungan kepada Gakkum terkesan lamban,” Kata Retno kepada Tempo, Selasa, 20 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Retno, aktivitas tambang belum masuk ke kawasan hutan pendidikan hingga 30 Maret 2025. Hal ini sesuai dengan pemantauan yang dilakukan staf Fakultas Kehutanan dan mahasiswa relawan. Namun, pada 5 April 2025, sudah didapati kondisi sebagian kawasan hutan yang telah dibuka. Hingga kini, Retno menuturkan, luas lahan yang telah dibuka oleh penambang batu bara tersebut seluas 3,26 hektare.
Disebutkannya, kondisi kawasan yang terbuka yakni adanya galian dengan kedalaman 10-30 meter, ada beberapa pohon yang telah tumbang, hingga tertutupnya area rawa. “Kerusakanhutan tidak hanya merugikan Unmul, namun juga kawasan di sekitarnya, karena KHDTK penting sebagai kawasan lindung, daerah resapan air dan hutan bagi Kota Samarinda,” kata dia.
Retno mengungkap bahwa sejak perambahan hutan pendidikan itu mencuat ke publik, aktivitas tambang ilegal sudah berhenti. Namun, belum ada kejelasan untuk penindakan terhadap pelaku. Padahal, dia menambahkan, telah ada Rapat Dengar Pendapat di DPRD Provinsi Kalimantan Timur pada 5 Mei 2025. Di sana Kementerian Kehutanan dan Polda Kalimantan Timur sama menyatakan telah memperoleh informasi pelaku.
"Aktivitas penambangan memang tidak ada lagi, namun dampak kerusakan yang ditimbulkan masih ada, dan belum ada pemulihan,” kata Retno lagi. Tempo telah berusaha menghubungi Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan Dwi Januanto Nugroho untuk mendapatkan penjelasan. Tapi, hingga berita ini dibuat hari ini belum mendapat respons.