Mengapa Pacaran Lama Belum Tentu Bikin Pernikahan Awet? Ini Kata Psikolog

2 hours ago 1

CANTIKA.COM, Jakarta - Banyak orang menganggap bahwa lamanya masa pacaran otomatis menjadi bekal kuat untuk mempertahankan pernikahan. Logikanya, semakin lama mengenal pasangan, semakin besar peluang memahami karakter satu sama lain. Namun, realitas tak selalu seindah teori. Tak jarang, pasangan yang telah menjalin hubungan bertahun-tahun justru berpisah dalam waktu singkat setelah menikah.

Menurut Psikolog Anisa Cahya Ningrum, fenomena ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari dinamika psikologis yang tidak disadari selama masa pacaran. “Salah satu penyebab utamanya adalah kekecewaan terhadap hal-hal buruk yang baru benar-benar terlihat setelah menikah,” ujar Anisa kepada Cantika, Minggu, 2 November 2025. 

Selama pacaran, banyak pasangan cenderung menoleransi perbedaan, berharap pasangannya akan berubah setelah menikah. Namun ketika perubahan itu tak terjadi, kekecewaan pun memuncak.

Ada juga yang tetap melanjutkan hubungan panjang karena faktor gengsi atau rasa malu jika harus berpisah setelah sekian lama berpacaran. “Mereka akhirnya menikah dengan perasaan ‘terpaksa secara sosial’, bukan karena benar-benar siap,” tambahnya.

Lamanya berpacaran memang memberi ruang untuk saling mengenal, tapi tak menjamin kesiapan menikah. “Bisa jadi selama bertahun-tahun pacaran, yang terjadi hanya pengulangan dari pola memaklumi kesalahan yang sama. Di titik tertentu, muncul kejenuhan emosional yang meledak setelah menikah,” jelas Anisa.

Menurutnya, tanpa adanya upaya untuk bertumbuh dan memperbaiki diri bersama, hubungan jangka panjang justru berpotensi stagnan secara emosional.

Jika pacaran masih menyisakan batas, maka pernikahan menyingkap segalanya. “Setelah menikah, kita melihat pasangan dalam keadaan marah, lelah, kecewa sisi-sisi yang tidak muncul saat pacaran,” kata Anisa.

Di sinilah ujian sesungguhnya dimulai. Konflik bisa muncul dari hal-hal yang dulu tak pernah dibicarakan, seperti keuangan, hubungan dengan keluarga besar, atau cara mengasuh anak. “Perbedaan kebutuhan dan ekspektasi pascamenikah sering kali menjadi sumber konflik baru,” ujarnya.

Karena itu, ia menekankan pentingnya edukasi pranikah agar pasangan memahami peran dan tanggung jawab masing-masing sejak awal.

“Terlalu Nyaman” Bisa Jadi Alarm Bahaya

Banyak pasangan yang sudah terlalu nyaman dalam hubungan pacaran, sehingga lupa mempersiapkan diri untuk realitas pernikahan. “Sering kali mereka berpikir, ‘jalanin aja dulu’. Pacaran hanya diisi dengan bersenang-senang tanpa rencana jangka panjang,” tutur Anisa.

Akibatnya, begitu memasuki pernikahan, mereka kaget menghadapi tekanan kehidupan nyata yang menuntut kedewasaan emosional dan finansial. Faktor lain yang sering memicu konflik adalah idealisasi pasangan. “Mereka terlalu menaruh harapan pada sosok ideal yang diciptakan dalam kepala sendiri. Padahal, tidak ada hubungan yang sempurna,” jelas Anisa.

Karena itu, ia menyarankan agar setiap pasangan berani tampil natural sejak masa pacaran menunjukkan diri apa adanya. “Supaya nanti tidak kaget dengan sisi lain pasangan setelah menikah,” ujarnya.

Kapan Hubungan Siap Naik ke Pelaminan?

Menurut Anisa, indikator kesiapan menikah bisa dilihat dari beberapa hal:

- Kematangan usia dan emosi. Sudah mampu mengelola konflik dengan dewasa.

- Kemandirian finansial. Punya perencanaan dan kesepakatan soal pengelolaan ekonomi rumah tangga.

- Kesiapan mental menjadi orang tua. Termasuk pandangan tentang pendidikan dan pola asuh anak.

“Menikah bukan soal lamanya bersama, tapi kesiapan untuk bertumbuh bersama,” pungkas Anisa.

Pilihan Editor: 12 Tanda Kamu Pacaran dengan Pria Kekanak-kanakan, Enggak Banget!

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi Terkini Gaya Hidup Cewek Y dan Z di Instagram dan TikTok Cantika.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |