Pasca Tarif Trump, Peneliti UII: Stabilitas Global Bukan karena Satu Negara

15 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Perekonomian dunia terguncang buntut kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menerapkan tarif impor tinggi atau dikenal sebagai tarif Trump  bagi sejumlah negara. Peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani mengatakan fenomena tarif Trump menjadi cermin besar bagi dunia.

“Bahwa stabilitas global tak bisa diletakkan pada pundak satu negara, sekuat apa pun negara itu secara ekonomi dan militer,” kata Listya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 20 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebab, menurut Listya, ketika pemimpin negara adidaya dapat secara drastis mengubah arah kebijakan luar negerinya hanya berdasarkan kalkulasi politik domestik, maka legitimasi moral dan keandalan sistem internasional ikut terguncang. Termasuk di bidang perekonomian.

Listya mengungkapkan, AS telah berubah menjadi negara ‘negosiator keras yang pragmatis’ seiring penerapan kebijakan populis America First oleh Trump. Salah satu output-nya adalah penerapan tarif Trump. Diplomasi multilateral yang diterapkan negara tersebut digantikan dengan diplomasi bilateral yang sarat tekanan ekonomi.

Dalam waktu singkat, AS menarik diri dari Trans-Pacific Partnership (TPP), menolak kesepakatan iklim Paris Agreement, dan bahkan mengancam peranannya di NATO dengan menyebutnya sebagai beban finansial. Pendekatan America First menggantikan semangat kolektif global dan AS mulai berperilaku sebagai aktor transaksional.

“Yang mengedepankan untung rugi jangka pendek dibanding komitmen jangka panjang terhadap tatanan dunia,” kata dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika, UII, Yogyakarta itu.

Menurut Listya, dunia menyaksikan ketidakkonsistenan sikap AS yang kerap berubah berdasarkan orientasi politik domestik dan figur presiden. Negara-negara sekutu menjadi lebih berhati-hati, sementara kekuatan besar lain seperti Cina dan Rusia mulai memanfaatkan kekosongan kepemimpinan global itu untuk memperluas pengaruh.

“Dalam konteks ini, kredibilitas AS sebagai pemimpin moral dan ekonomi dunia mulai goyah. Bukan karena ia kehilangan kekuatan, tetapi karena ia kehilangan arah dan konsistensi — dua syarat utama dalam memimpin sistem global yang kompleks dan penuh ketidakpastian,” Listya menjelaskan.

Listya mengatakan, dunia telah belajar bahwa dominasi yang tidak diimbangi dengan tanggung jawab dan konsistensi bisa menjadi ancaman yang lebih berbahaya daripada ketidakhadiran kepemimpinan itu sendiri. Oleh karena itu, kata dia, masa depan global tidak boleh dibangun di atas harapan akan munculnya hegemon baru.

Oleh karena, itu kata dia, yang dibutuhkan adalah sebuah tatanan dunia yang lebih seimbang, kolaboratif, dan berbasis pada prinsip keadilan dan saling menghormati. Dunia multipolar memberi peluang untuk menciptakan arsitektur global yang tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer atau ekonomi.

“Tetapi juga oleh kapasitas diplomasi, integritas kelembagaan, dan kemampuan menjembatani kepentingan yang beragam,” kata pengajar di Jurusan Ekonomi, UII itu.

Dalam konteks ini, Indonesia memiliki peran yang sangat strategis. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, anggota G20, dan kekuatan ekonomi utama Asia Tenggara, Indonesia memiliki modal untuk menjadi kekuatan pengimbang di tengah kontestasi global. Indonesia tidak perlu menjadi negara hegemonik untuk memainkan peran penting dalam percaturan internasional.

“Yang dibutuhkan adalah diplomasi yang cerdas, ekonomi yang tangguh, dan ketajaman geopolitik untuk membaca arah perubahan,” Listya menambahkan.

Dengan mendorong kerja sama kawasan, memperkuat hubungan Selatan-Selatan (Global South), serta menjadi suara moderat di berbagai forum multilateral, Indonesia dapat menjadi aktor yang membantu mengarahkan tatanan global ke arah yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Di dunia yang semakin terpolarisasi, kekuatan seperti Indonesia—yang menjunjung prinsip non-blok dan kedaulatan kolektif—dapat menjadi jembatan antara kekuatan besar dan negara-negara berkembang.

Menurut Listya, dunia pasca-tarif Trump bukanlah dunia yang hancur, tetapi dunia yang tengah menyusun ulang dirinya. Ini adalah momen historis bagi negara-negara seperti Indonesia untuk tidak hanya bersikap reaktif, tetapi juga mengambil inisiatif dalam membentuk arus baru globalisasi yang lebih adil.

“Kepemimpinan global tak lagi ditentukan oleh siapa yang paling kuat, tetapi oleh siapa yang paling bisa dipercaya, konsisten, dan mampu menjawab kompleksitas zaman,” kata Listya.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |