TEMPO.CO, Jakarta - Kopi telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Sebanyak 2,2 miliar kopi dikonsumsi penduduk dunia setiap hari, menurut earth.com. Minuman tersebut dibuat dari biji kopi yang dihasilkan dari perkebunan yang dikelola oleh lebih dari 100 juta petani kopi di seluruh dunia.
Di tengah tingginya konsumsi kopi dunia, komunitas petani kopi menghadapi ancaman nyata dari dampak perubahan iklim. Ancaman ini diperparah dengan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan di antara para petani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Roberto Alonso Vega Alfaro, Vice President, Global Coffee Agronomy, R&D, and Sustainability di Starbucks, mengungkapkan bahwa para petani perlu mengadaptasi praktik modern yang berkelanjutan untuk menghadapi ancaman ini. Starbucks memiliki 10 pusat dukungan petani di berbagai negara, salah satunya ada di Indonesia yang dibangun di Berastagi, Sumatra Utara. Roberto mengatakan, di sana, para petani diajarkan bagaimana melakukan mitigasi dampak perubahan iklim, terutama untuk dua masalah yang paling banyak dihadapi saat ini yakni degradasi tanah dan air.
Untuk degradasi tanah, misalnya, petani diajarkan cara membuat kompos dari limbah kopi yang biasanya dibuang. Ia mengatakan bahwa dari buah kopi yang diambil, hanya 20 persen yang dikonsumsi. Sebagian besar menjadi limbah. "Tapi 80 persen itu bisa menjadi emas karena Anda dapat mengganti pupuk dengan itu. Itu benar-benar dapat memperbaiki tanah," kata Roberto dalam diskusi dengan media usai sesi Lecture Series di World of Coffee Jakarta International Convention Center, Jakarta, akhir pekan lalu.
Praktik pertanian berkelanjutan juga dilakukan untuk mengurangi konsumsi air. Menurut Roberto, mereka menyiapkan mesin yang dapat mengurangi konsumsi air hingga 50 persen. "Kami membelinya dan meletakkannya di plot demo kamu dan menunjukkan kepada petani bagaimana mesin itu bekerja sehingga bisa melihat manfaatnya," kata dia.
Namun, tak mudah mengajarkan petani untuk melakukan praktik yang tepat. Tantangan terbesarnya, kata dia, adalah mengubah perilaku atau kebiasaan yang telah dilakukan turun-temurun. "Jadi, membawa beberapa inovasi mungkin tidak semudah yang kami inginkan," kata dia.
Itu sebabnya, perkebunan percontohan menjadi penting. Ketika para petani melihat keberhasilannya, mereka akan membuka diri untuk mengubah perilaku dan mempraktikkan pertanian berkelanjutan.