TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan kredit perbankan pada April 2025 tumbuh sebesar 8,88 persen secara tahunan atau year on year dengan nilai mencapai Rp 7.960 triliun. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit.
“Ditinjau dari kepemilikan, bank BUMN masih menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit yaitu sebesar 8,82 persen year on year,” ucap Dian dalam konferensi pers daring pada Senin, 2 Juni 2025. Untuk kategori debitur, kredit korporasi tumbuh 12,77 persen secara tahunan. Sedangkan kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tumbuh 2,60 persen, dengan kredit usaha kecil tumbuh tertinggi sebesar 9,48 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dian juga mengatakan, berdasarkan jenis penggunaan, kredit investasi tumbuh tertinggi yaitu sebesar 15,86 persen secara tahunan. Kemudian diikuti kredit konsumsi sebesar 8,97 persen dan kredit modal kerja sebesar 4,63 persen.
Kemudian, Dana Pihak Ketiga (DPk) tercatat tumbuh menjadi Rp 9.047 triliun atau 4,55 persen secara tahunan. “Dengan giro, tabungan, dan deposito masing-masing tumbuh 6,02 persen; 6,05 persen; dan 2,07 persen year on year,” kata Dian. Adapun rasio non-performing loan (NPL) gross adalah sebesar 2,24 persen dan NPL net sebesar 0,83 persen.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mendorong perbankan untuk menurunkan suku bunga agar penyaluran kredit meningkat. Sebab, pertumbuhan kredit pada April 2025 tumbuh melambat jika dibandingkan pada Maret 2025 yaitu sebesar 9,16 persen.
Perry mengatakan, pada April 2025, suku bunga deposito satu bulan tercatat berada di level 4,83 persen. Angka ini meningkat dari 4,81 persen pada awal Januari 2025. “Dengan kecenderungan sejumlah bank menawarkan suku bunga yang lebih tinggi dari yang dipublikasikan,” ucap Perry dalam konferensi pers pada Rabu, 21 Mei 2025. Selain itu, kata dia, suku bunga kredit juga masih relatif tinggi yaitu 9,19 persen.
BI juga berupaya mendorong kecukupan likuiditas dan melonggarkan kebijakan makroprudensial melalui beberapa kebijakan. Mulai 1 Juni 2025, Bank Indonesia akan meningkatkan Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) dari maksimum 30 persen menjadi 35 persen dari modal bank. Kebijakan ini bertujuan agar bank bisa meningkatkan sumber pendanaan dari luar negeri.
Kedua, BI akan menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM). Untuk bank konvensional, PLM diturunkan dari 5 persen menjadi 4 persen. Kemudian untuk bank syariah, PLM diturunkan dari 3,5 persen menjadi 2,5 persen. Penurunan rasio PLM akan berlaku mulai 1 Juni 2025.